23 Lukisan


Cerpen Ulku Malak
 
Terima kasih, ingin aku katakan padamu yang telah mengantarkan aku ke tempat ini. Di sini aku menemukan gunung yang berpohon dan lembah yang berair. Burung-burung berkicau dengan bebas, tanpa takut di buru oleh orang. Di sini monyet-monyet bergelayutan tanpa takut diincar pemburu gelap. Dan gajah-gajah dengan mudah merguling di tanah basah sambil melahap dedahanan yang lembut yang mereka sukai tak perlu keluar dari hutan, merusak tanaman petani. Aku tinggal di sebuah gubuk, pekerjaanku sekarang lebih sederhana dan menyenangkan tentu saja. Melukis dan memetik buah yang aku butuhkan untuk makan. Bila pagi tiba, seorang gadis anak Usman datang membawakan sarapan untukku. Aku benar-benar merasakan kedamaian berada di tempat ini. 

Gadis yang biasa mengantarkan makanan padaku bernama Aisha. Dia seorang pelajar SMU yang tak selesai sekolahnya. Kini sudah menjelang usia dua puluh tahun. Wajahnya cantik meski tertutup oleh sikap kekampungan, aku dapat melihat kecantikannya itu bila ia bertutur dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Gadis ini memberiku inspirasi melukis. Kadang aku meminta Usman untuk memberikan waktu lebih banyak pada Aisha untuk menemaniku melukis. Sebenarnya aku ingin sekali menjadikan Aisha sebagai model untuk lukisanku. Dapat kau bayangkan di sebuah bukit yang masih perawan ada seorang perawan berwajahkan pualam diukir di atas kanvas dengan sinar terang yang sejuk dan damai mengatakan pada dunia bahwa masih ada kesucian yang disisakan alam untuk dihargai dan dijaga oleh umat mansia. Sebagai teman, Usman terlalu baik kepadaku, dia telah menyediakan tempat tinggal di puncak bukit Ruyung ini untukku dan dia juga memberikan makan yang cukup untukku, selain itu dia merelakan anaknya Aisha menemaniku melukis. Memang usman adalah saudara jauhku, dia anak dari kakak kakeku, berpisah lama dari keluarga, ditemukan menetap di bukit Ruyung ini dan aku mendapatkan kabar tentang Usman dari Samsul temanku yang asli orang kampung Cigarondong di kabupaten Pandeglang. Menurut dia, dia kenal dengan Usman, kepala kampung tempat tinggalnya dan dia tahu bahwa Usman adalah pendatang. Dia merasa yakin bahwa Usmanlah orangnya yang selalu aku ceritakan kepada Samsul tentang sauadara jauhku yang sedang aku cari. Samsul mengirimku ke tempat ini dan mempertemukan aku dengan Usman. Ternyata benar dugaan Samsul, dan aku masih ingat wajah Usman. Ketika aku masih kecil dulu, dia sering mengajakku ke ladang di kampung halamanku. Tapi aku tak mengira bahwa Usman mempunyai seorang anak gadis yang sangat sempurna di kampung yang jauh dari keramaian ini. Asiha benar-benar bintang desa yang jatuh dari langit ke tujuh untuk melegakkan pandangan setiap mata yang kelelahan menggarap ladang. Setelah melihat Aisha yang begitu sempurna, aku merubah rencanaku, yang semula hanya akan melukis alam perawan yang tak terjamah oleh tangan-tangan kotor yang serakah dari orang-orang yang tak berperasaan akan damainya lingungan pedesaan, aku merubah rencana itu menjadi pengabadian keindahan dan kecantikan wajah Aisha di pegunungan yang masih perawan ini. 

“Usman, begitulah Usman lebih suka dipanggil olehku, meski dia jauh lebih tua dariku
“Aku ingin mangabadikan anakmu dalam lukisan-lukisanku. Bagaimana menurutmu? tanyaku pada suatu kesempatan. “Apa menurutmu Aisha cocok menjadi model lukisanmu? Usman balik bertanya. “Bukan hanya cocok, tapi sempurna, Aisha datang menghampiri kami. “Aisha, kau mau jadi model? tanya Usman kepada Aisha tanpa basa-basi. “Model apa? tanya Aisha tak mengerti. Berani taruhan, suaranya benar-benar menyejukkan telinga tak ubahnya suara desiran angin lembut yang mengelus tubuhmu saat kau istriahat di bawah bayang-bayang pohon setelah lelah berjalan jauh di bawah terik matahari yang menyengat tubuhmu. “Model lukisan, aku menjelaskan  “Aku akan melukis alam perbukitan yang masih perawan ini dan aku akan sangat senang bila di dunia yang masih perawan ini aku melukis dirimu dia antara indahnya suasana perbukitan yang asri. Aisha tak segera menjawab, dia menatapku dan ayahnya bergantian. Bola matanya yang bulat dan jernih berkilat-kilat, melemparkan pesona seorang gadis yang tak terjamah oleh kotoran-kotoran tangan jahil di jalanan. Kemudian seulas senyum mengembang di bibirnya yang merah delima alami tanpa polesan. Bersamaan dengan itu pipinya merona kemerah-merahan. Dia benar-benar cantik. Terdengar jawabannya yang lembut, “Aisha mau, asal tidak dijual. “Tidak masalah, jawabku cepat, “Aku akan melukismu dan lukisan itu akan menjadi milik dunia, bukan milik orang serakah, misalnya kolektor yang membeli lukisan dari uang korupsi. Obrolan itu usai begitu saja dengan disetujuinya keinginanku melukis Aisha. Usman tak keberatan ketika aku meminta Aisha untuk lebih lama bersamaku di gubuk tempatku melukis. Setelah aku mempunyai model, aku lebih banyak melukis sosok Aisha dengan berbagai posenya yang dilatari oleh berbagai keindahan alam, dari mulai pepohonan hingga bebatuan yang terserak di sekeliling kami. Aisha senang sekali dirinya menjadi model lukisanku, dan dia tahu bahwa dirinya sangat sempurna. Bila dibandingkan dengan keindahan alam, dia adalah representasi dari keindahan alam itu. sepuluh lukisan sudah selesai dalam dua minggu dengan model utama Aisha. Aku sedang duduk santai ketika Aisha datang membawa seorang temannya, dia gadis kampung yang lain, aku belum tahu anak siapa gadis ini. “Kang Ulku, ini kenalkan teman dekat saya di kampung, Irma namanya, uajar Aisha setelah berada dekatku. Aku menyalami Irma sambil menyebut namaku dengan lengkap. “Kang, bisa enggak melukis kami berdua? Aisha memeluk pundak Irma yang tetap diam tak bersuara. Gadis ini sangat kontras bila dibandingkan dengan kecantikan Aisha, tetapi Aisha yang ada di sampingnya itu membantunya terlihat cantik. Bukan sebaliknya. Aku sendiri merasa heran mengapa seorang yang cantik bersanding dengan yang tidak cantik, bukannya memperjelas ketidakcantikannya itu ini malah membantu Irma terlihat lebih cantik. Bila dibandingkan dengan Irma yang sendirian lebih baik Irma yang sedang bersama Aisha. 

“Ya, akang setuju, jawabku. “Kapan? tanya Aisha. “Sekarang juga boleh. Jawabku. Hari itu aku dengan kemapuanku yang paling baik, untuk menyenangkan Aisha dan temannya itu, aku melukis mereka di atas kanvas berukuran 130 x 85 centimeter. Tanpa latar, tapi langsung memberi warna pada kanvas sesuai dengan karakter kudua model yang ada di hadapanku. Pengerjaannya ternyata lebih sulit dari yang aku bayangkan, dua hari lukisan ini belum selesai juga. Akhirnya setelah satu minggu aku berhasil juga menyelesaikan satu lukisan ini. “Hasilnya Kang, kok begini?” Aisha berkomentar, “Saya malah tak mengerti dengan lukisan seperti ini. Saya pikir ini lukisan yang paling buruk yang pernah dibuat kang Ulkku selama ada di sini. Aku ingin menjelaskan, tetapi ada yang datang masuk ke gubugku, Usman bersama dua orang lelaki, yang satu aku kenal dia Samsul, sedangkan yang lainnya aku tidak tahu. Lelaki ini terlihat perlente dengan kaos santai yang sopan dan kaca mata minus bertengger di hidungnya. “Ul, bagaimana kabarmu sekarang? ujar samsul sambil menyalamiku, “Oh ya, kenalkan, ini Aram, Aram Aria dari Jakarta, katnya dia ingin bertemu dengamu. Aku menyalami Aram, dia tersenyum kepadaku, aku membalasnya dengan agak malas. “Menurut Usman, kau sudah menyelesaikan sepuluh lukisan dengan model Aisha dan dua belas dengan model jagat raya ini, apa benar? tanya Samsul. Aku hanya mengagguk dan melirikkan mata ke dinding gubuk yang penuh dengan dua puluh dua lukisan. Sedangkan yang satu lagi yang baru saja selesai dilukis masih menggantung di sandaran tempatku melukis. “Kau hebat, sangat produktif. Dalam satu bulan menghasilkan dua puluh dua lukisan. Dan itu apa? tanya samsul melihat lukisan yang masih menggantung di sandaran, “Kau merubah aliranmu? tanya Samsul, “Mengagumkan, kau dapat disejajarkan dengan pelukis Affandi, bahkan Picasso, Ul. Kau benar-benar jenius. Samsul terus berkomentar tentang lukisan-lukisanku, aku hanya diam demikian juga dengan Usman, sementara Aisha bergegas pulang mengambilkan minuman. Sedangkan Aram memandangi lukisanku satu persatu dengan teliti. “Kau punya niat memamerkannya? tiba-tiba sekali pertanyaan itu dilontarkan oleh Aram kepadaku. Aku diam, “Lukisanmu ini layak dilihat banyak orang, Aram menambahkan “Aku akan membantumu memamerkan lukisan ini di galeri yang terkenal di Jakarta. Samsul menatapku demikian juga dengan Usman yang tidak tahu apa-apa tetang dunia pameran. Aisha datang dengan membawa sepoci kopi dan tiga gelas bersama bakar singkong yang masih panas, setelah selesai menuangkan kopi ke gelas Aisha mempersilahkan. Kami mengambilnya satu orang satu, sementara Aisha kembali memperhatikan lukisannya bersama Irma yang menurutnya aneh dan tidak masuk akal. Dua tubuh yang menyatu dari dua karakter yang berbeda, tetapi serasi. Dia yang cantik dengan Irma yang tidak cantik bersatu, bersebelahan dalam bentuk yang unik dibayang-bayangi sinar kelabu yang temaram. Membuat suasana lukisan ini aneh dan menimbulkan kesan mengerikan tapi indah. Berbagai rasa menyelusup ke dalam kalbu Aisha selama ia memandang lukisan itu.  “Aku akan membawa semua lukisan ini hari ini juga. Kalau kau setuju dan aku akan membawa serta dua model diantaranya, sedangkan model ketiga rasanya aku tak mungkin membawanya ke Jakarta. Aram menjelaskan perjanjian dalam pameran kepadaku. Tetapi aku masih ingat akan janjiku kepada Aisha untuk tidak menjual lukisan-lukisan ini kepada seseorang, keculai lukisan alam yang tanpa model Aisha.  “Aisha, panggilku pada Aisha, “Bagaimana menurutmu, Aram ingin memamerkan lukisan-lukisan ini di Jakarta? Aisha diam, menatapku lekat-lekat, “Aku serahkan keputusannya, sepenuhnya ada padamu, Aisha. Jelasku. Aisha menyetujui lukisan-lukisanku dibawa ke Jakarta dan dia sendiri bersama Irma ikut bersamaku ke Jakarta, sementara Usman tetap di rumah menggarp ladangnya. Jakarta, pusat segala macam kesibukan, selain pusat peredaran uang, Jakarta juga pusat korupsi dan pusat kerusuhan. Pengunjuk rasa datang dari barbagai daerah mengungkapkan aspirasinya dengan cara ilegal, tak jarang melempar gedung-gedung sepanjang jalan uatama di jakarta, mengerikan, tetapi juga asyik diberitakan dan kita senang mendengarnya. Aku sebenarnya agak khawatir juga dengan keselamatan lukisan-lukisan ini juga kedua modelnya. Kami dibawa ke sebuah gedung yang tak kukenal oleh Aram, dia memperkenalkan aku dengan seseorang yang menjadi menejer gedung itu. Kami ada pembicaraan yang bermacam-macam tentang protokoler, akhirnya disepakati satu minggu pameran di gedung itu. Pameran tunggalku yang perdana dengan dua puluh tiga lukisan. Aku menatap Aisha dan Irma yang terlihat kikuk berada di keramaian kota. “Aisha dan Irma akan tinggal bersamaku, jawabku ketika Samsul menanyakan dimana kedua gadis itu akan tinggal. “Aku akan membawa mereka ke pesanggrahan seni milik Acun di jalan Gajah Mada. Kami berpisah untuk bertemu esok hari dalam pembukaan pameran tunggalku. 

Esok harinya, pagi-pagi sekali, Irma dan Aisha sudah duduk di ruang tamu. Ketika aku terbangun dan melihat mereka, Aisha bertanya kepadaku, “Lukisan itu akan dijual? Aku diam, bingung harus menjawab apa, tapi akhirnya aku berkata, “Semua nasib lukisan itu ada di tanganmu Aisha. “Kalau begitu, mumpung pameran belum dibuka, sebaiknya kita kesana. “Apa yang akan kita lakukan? tanyaku. “Ini penting, Aisha menjelaskan “Harga lukisan itu. Ya, aku baru sadar bahwa lukisan itu tidak diberikan tanda harga. Aku segera bergegas mandi dan memakai baju yang agak rapi. Kami bertiga bergegas naik taksi menuju galeri tempat lukisan-lukisanku akan dipamerkan. Masih sepi di luar gedung, jam baru saja menunjukkan angka enam tepat, tapi jalan-jalan sudah sangat padat oleh kendaraan, bau emisi sangat menyengat tenggorokan mengakibatkan batuk berkali-kali bagi Irma dan Aisha. Aku menghubungi satpam dan kami dipersilahkan masuk. Aku menerobos ke arena pameran, seluruh lukisanku sudah dipajang dengan sempurna pada tempat-tempat yang sesuai dengan karakter lukisan itu, tetapi tidak ada label harga di sana. Aku menemui Aram yang sedang duduk di balik meja kerjanya, 

“Bagaimana dengan harganya? tanyaku agak terburu-buru pada Aram. “Bukankah lukisan ini hanya untuk dipamerkan? Aram balik bertanya. “Tidak, Aisha akan menjelaskannya. Aisha dengan agak malu-malu mulai berbicara dengan Aram, meski terbata-bata bahasa Indonesianya, tetapi ia memiliki ide yang cemerlang.  “Bagus kalau begitu, kata Aram, “Harga pertama kita taruh masing-masing lukisan seratus juta rupiah. Kalau ada yang menawar lebih tinggi di akhir pameran, lukisan itu dilepas. “Seratus juta harga pertama, aku tak percaya dengan usul Aisha itu, “Siapa yang akan membelinya? tapi aku buru-buru berkata, “Tapi ini adalah keputusan Aisha yang memegang hak atas lukisan-lukisan itu. Pameran dibuka, lumayan hari pertama banyak juga pengunjungnya. Kebanyakan mereka adalah penikmat seni lukis, tapi tak memiliki uang untuk membelinya, apalagi melihat daftar harga pertama seratus juta, tak seorang pun bertanya tentang lukisan itu. demikian juga hari kedua dan ketiga. Baru pada hari keempat, ada seorang lelaki tua dengan wajah lusuh, memakai topi kain mendatangiku,
“Asyam Rasyid dari Malaysia, dia memperkenalkan diri. Aku menyebut amaku dan mempersilahkannya duduk di bangku bersama aku dan dua modelku.  “Saya datang jauh-jauh dari negeri jiran, karena heran ada lukisan pemula yang mematok harga pertamanya seratus juta, angka yang laur biasa. Saya datang kesini ingin tahu sehebat apa lukisan itu, dia mengambil gelas kopinya dan menyeruput beberapa kali,
“Saya hampir tidak percaya dengan penglihatan sendiri. Anda memang pelukis yang berbakat. Saya menawarkan harga duaratus juta untuk masing-masing lukisan dan satu milyar untuk lukisan dua gadis ini. Aku diam tak percaya dengan angka yang disebutkannya itu. Aisha mencatat angka-angka itu dalam daftar penawar lukisan.
“Fantastis harga itu, tapi masih harus menunggu tiga hari lagi, jawabku.
“Tidak apa-apa, saya akan menunggu selama tiga hari ini. Oh, ya saya akan datang pada hari penutupannya. Setelah mengatakan hal itu Asyam Rasyid berpamit meninggalkan galeri. Hari kelima dan keenam adalah hari yang membuat aku semakin tidak mengerti dan semakin bingung serta tidak percaya. Pada hari kelima seorang kolektor dari Jerman menawarkan harga limaratus juta untuk setiap lukisan dan lima milyar untuk lukisan dua gadis. Hari keenam orang Amerika datang dengan harga masing-masing lukisan satu milyar dan dua gadis itu ditawar satu trilyun. Berita tentang harga lukisanku menjadi buah bibir masyarakat, bahkan di lingkungan Istana Negara, menurut kabar yang aku terima juga memperbincangkan harga lukisan-lukisan itu. Akhirnya pada hari ketujuh, hari penutupan pameran tunggal perdana lukisanku, seluruh peserta yang mendaftarkan diri sebagai penawar lukisan sudah hadir, notaris sudah didatangkan. Dalam daftar penawar ada sepuluh orang dan mereka semuanya sudah hadir. Para wartawan sibuk memotret lukisan-lukisanku untuk berita di halaman muka koran dan majalah, demikian pula dengan wartawan televisi. Asyam Rasyid sudah duduk di kursi yang sudah tersedia demikian juga dengan orang Jerman dan Amerika. Sementar ketujuh penawar yang lain masing-masing dari Indonesia empat orang dan dua orang dari Australia ditambah satu orang dari Italia. Samsul membacakan harga terakhir bagi lukisaku dalam daftar penawar tertinggi. Duabelas lukisan alam dihargai limabelas milyar, sepuluh lukisan bermodelkan Aisha dihargai masing-masing duapuluh milyar dan lukisan Aisha dan Irma dihargai satu trilyun setengah. Harga itu ditawarkan oleh seorang pengusaha Indonesia yang sudah kondang. Aisha menatapku, dan aku hanya diam. Menggelengkan kepala kepada Aisha. “Apakah ada yang akan menawar lebih tinggi dari orang ini? tanya Samsul kepada peserta lelang. Orang Australi mengacungkan tangan, menambah angka, dibalas oleh orang Indonesia, kemudian, Itali, Malaysia, Jerman, Amerika dan akhirnya Asyam Rasyid dari Malaysia memenangkan harga lelang dua puluh tiga lukisanku, dengan harga seluruh lukisan selain dua gadis dihargai masing-masing satu trilyun dan untuk dua gadis dihargai duapuluh trilyun. “Harga yang pantas untuk lukisan yang hebat, komentar Samsul setelah menutup acara lelang lukisan itu. Selanjutnya notaris membuatkan akta jual beli saat itu juga yang kemudian ditandatangani oleh para saksi dan juga aku setra pembeli. Sudah beres proses jual beli lukisan itu. kini giliran Aisha yang airmatanya mengalir sejak tadi, “Saya minta waktu, ujarnya. “Hari ini saya sebagai model sepuluh lukisan Ulku Malak. Dan Irma bersama saya menjadi model lukisan yang paling mahal di arena pameran ini ingin menyampaikan sesuatu untuk negara. Para hadirin diam hening mendengarkan suara lembut Aisha yang tidak terbata-bata lagi bahasa Indonsianya, belajar bahasa selama satu minggu di Jakarta besar sekali pengaruhnya.  “Saya sebagai pemegang keputusan atas uang sebanyak ini, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam akta hak-milik, saya ingin membebaskan negeri kita ini dari utang luar negeri dan kita akan membangun negara ini dari hasil menjual lukisan ini yaitu sejumlah uang sebesar empatpuluh dua trilyun, tigapuluh diantaranya untuk membantu negara membebaskan diri dari dari krisis ekonomi yang tak berkesudahan ini. Sedangkan sisanya untuk membiayai pendidikan anak-anak papa yang tersia-siakan. Kecuali satu milyar untuk mengembangkan kerativitas Ulku Malak, saya dan Irma serta kru pameran ini. Demikian harap dipahami. Pidato itu berakhir dengan suara tangis haru dari para hadirin.
=====
Ulku Malak Nama Pena dari Surgana Tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar